Ma Yan



























" Aku harus menahan lapar selama lima belas hari hanya untuk membeli sebatang pena"

Pertama kali mendengar kisah novel ini pada tahun 2011, pada bulan Ramadhan yang di bahas pada acara bedah buku bersama penerbit Bentang Pustaka di Radio Mustang 88 fm. Gue suka banget kajian dalam acara tersebut, karena membahas buku-buku terbitan Bentang pustaka yang penuh dengan kisah inspiratifnya, ditambah dengan ulasan yang menarik dari Abi Maulana. Penyiar radio mustang yang suka kasih inspirasi  Sounds of Spirit di Mustang FM. Maklumlah 4 tahun lalu gue termasuk pengemar radio tersebut, karena masih cocok dengan umur. Ok kita tidak akan membahas banyak radio tersebut, yang akan kita bahas disini adalah novel Ma Yan 

Sudah cukup lama gue ingin membeli buku ini, namun karena susah dicari, nampaknya novel ini hanya menjadi ingatan yang belum terealisasikan. Sampai akhirnya pada tahun 2015 ini ada moment Islamic Book fair yang memberikan diskon besar-besaran kepada pengunjung. Tak sengaja mampir di booth Mizan, mataku menemukan buku ini, oh my goodness, aku lihat, aku buka dan kubaca kilasannya, buku ini begitu ringan, tak seperti dugaanku sebelumnya, kupikir buku ini cukup tebal, nyatanya buku ini sangat ringan, dan yang tak kalah mengejutkan harga buku ini sangat terjangkau, yakni Rp. 39000, diskon 30 % menjadi  Rp. 29000.

Sebuah novel yang sangat inspiratif, mengangkat kisah nyata perjuangan seorang anak di  pedalaman Cina. Cina adalah negeri daratan yang sangat luas, saking luasnya daratan tersebut, terbentanglah Jalur Sutra, jalur perdagangan yang menghubungkan antara negeri di Asia tengah dengan Cina. 

Di salah satu provinsi pedalaman Cina yakni provinsi Ningxia, hiduplah seorang anak bernama Ma Yan yang lahir pada 6 Maret 1988 sebagai suku Hui, salah satu suku yang memeluk agama Islam di daratan Cina. Provinsi Ningxia adalah termasuk wilayah miskin Cina, kondisi iklim yang kering menyebabkan sulit untuk menggarap lahan pertanian. 

Daratan yang Dahaga, adakah sebuah kehidupan yang bisa berjalan normal tanpa ketersedian air ?
Mao Zedong, sang pemimpin Besar Cina, agaknya menduga atau mengharap hal semacam itu bisa terjadi. Dalam era kegilaan yang disebutnya  sebagai "Lompatan jauh Ke depan " periode 1958 - 1962, diubahnya beberapa desa di China menjadi wilayah tungku peleburan besar demi meningkatkan produksi baja. Pohon-pohon dan berbagai jenis tumbuhan diwilayah tersebut ditebang habis tanpa sistem perencanaan  untuk ditumbuhkan kembali. Efek eksploitasi yang berlebihan menyebabkan wilayah Ningxia menjadi lahan tandus yang tak terjanga oleh pohon. Petani beralih pada pekerjaan pabrik  atau pergi meninggalkan desa menjadi tentara pada masa revolusi. Lahan pertanian menjadi tak terurus, menyebabkan pasokan pangan berkurang.

Terlahir dari orang tua yang memiliki garis kemiskinan yang turun temurun, nyatanya harus dirasakan oleh Ma Yan yang ingin mengeyam pendidikannya dengan penuh perjuangan. Sebuah bentuk perjuangan yang tidak biasa untuk anak sekolah. Jarak yang harus ditempunya sepanjang 20 km, dengan jalur perjalanan berupa ladang pedalaman yang berbukit, trayek  dengan jurang dan karang yang terjal. Waktu yang harus ditempuh empat jam untuk pejalan cepat dan lima jam untuk ayunan kaki berkecepatan ala kadarnya. Dalam cuaca apapun, entah bersalju, hujan atau cerah dengan terik matahari, diperlukan upaya penuh perjuangan menyusuri jalanan berdebu itu. Bentang daratan sepanjang jalur perjalanan menyuguhkan berbagai kondisi yang tak ramah bagi manusia sehingga hanya sedikit orang yang menempati wilayah tersebut.

Jalur perjalanan yang begitu jauh mengharuskan Ma Yan untuk tinggal di Asrama sekolah dan kembali kerumah diakhir pekan. Tidak hanya menghadapi perjuangan jarak tempuh, Ma Yan juga harus berjuang untuk menahan rasa lapar untuk sebuah pulpen yang harganya 15 Yuan, dan itu artinya ia harus menabung  uang jajannya selama 15 hari, selama 15 hari itu Ma Yan hanya memakan nasi yang tak berasa dan tak berbumbu. 

Kondisi orang tua Ma Yan sesungguhnya sudah tak sanggup membiayai anak perempuannya itu untuk sekolah, Orangtuanya sudah berjuang sedemikian kerasnya, namun membiayai sekolah tetap dirasa mahal. Ayahnya bekerja sebagai buruh lepas di Mongolia yang kadang tak tentu besaran upah yang diterima. Ibu Ma Yan rela melakukan pekerjaan apa saja  untuk menopang keuangan keluarga, termasuk menjadi buruh pemotong sayuran fa cai. 

Secara Akademik Ma Yan bukanlah siswa yang pandai nan cerdas, ia sempat memiliki nilai yang mengecewakan dan bahkan gagal masuk sekolah menengah pertama. Tetapi karena kegigihannya dalam belajar Ma yan berhasil menjadi anak yang berprestasi di kelasnya. Ia berusaha sekuat mungkin untuk mengenyam pendidikan, karena ia merasa yakin bahwa pendidikanlah yang dapat memutuskan rantai kemiskinan keluarganya. 

Novel ini sangat inspiratif untuk dibaca bagi para pendidik dan juga bagi para peserta didik, terutama anak-anak kaum miskin kota yang merasa diri mereka tidak punya kesempatan dengan alasan biaya. Padahal sesungguhnya penyakit terbesar mereka adalah rendahnya motivasi yang rendah untuk berjuang lebih keras dari teman sebayanya. Belum munculnya kesadaran bahwa pendidikanlah yang membawa mereka untuk menjadi orang yang mandiri dan mengangkat derajat kehidupan yang lebih baik. Percayalah buah perjuangan sangat manis pada akhirnya, jangan berharap bisa menikmati buah manis jika tidak ada move atau action yang dilakukan.

**********************************************************************************************

Demikian kisah  MA YAN 

Selamat membaca dan menemukan makna kisah kehidupannya

Salam @djidiaastuty 

Komentar

Postingan Populer