ETHNIC RUNAWAY TRIP TO BADUY,
Akhirnya petualangan itu gue
rasakan juga, setelah sekian lama keinginan itu memuncah, akhirnya terwujudkan juga. Dulu di kampus ada ungkapan bukan anak sejarah kalo
nggak pernah ke Baduy. Omongan itu
terjadi sekitar tahun 2004, waktu teman-teman masih menjadi aktivifis kampus
yang masih berjiwa bebas berpetualang. Di
penghujung tahun 2012 tuhan berkenan membukakan gue jalan, akhirnya Baduy
terwujudkan juga.
Petualangan kali ini dinikmati
oleh 11 orang para jomblowers, meskipun ada juga sih yang bawa gebetan, (hehee). Well, intinya gue dan teman-teman memang senang mencoba hal-hal baru
dari jiwa adventure gue itu loh yang nggak bisa di bendung.
Kumpul di stasiun kota sekitar
pukul 11, beli tiket ekonomi tujuan
rangkas bitung, dengan biaya yang sangat terjangkau rute sejauh itu (Cuma Rp
2000), sampai di stasiun rangkas sekitar
pukul 15.30, kita menunaikan sholat
ashar di stasiun, selesai menghadap sang Illahi, perjalanan pun dilanjutkan dari
rangkas menuju Ciboleger, menaiki elf dengan ongkos biaya sebesar Rp. 15.000.
Cukup mahal karena memang jarak tempuhnya sangat jauh memakan waktu 1 setengah
jam.
Sampai di Ciboleger sekitar jam 17.30 dengan kondisi cuaca hujan, kita mampir sebentar di rumah makan, melihat nih muka-muka sudah kekurangan zat gula, akhirnya kita makan dulu. Disana kita sudah di sambut sama Kang Arji, beliau adalah salah satu penduduk Baduy yang rumahnya akan kita jadikan homestay selama 3 hari. Waktu yang amat sangat nangung menjelang marib kita sholat magrib dulu, baru kemudian dilanjutkan ke baduy Luar.
Garis pembatas antara masyarakat
biasa dengan Suku Baduy adalah ketika cahaya listrik tidak bisa dinikmati
(alias gelap gulita), banyak orang warung yang meragukan apakah kita kuat melanjutkan
perjalanan ke dalam dengan kondisi hujan, gelap, jalan yang ekstrem, licin,
bebatuan, dan berbukit.
Oh My God, WOW baru 15menit jalan keringet keluar semuanya,
uh sepanjang perjalanan itu seperti bertaruh nyawa, bawa ransel, keseimbangan
harus benar-benar terjaga, kalo nggak saling berpegangan tangan kita akan
tergelincir atau bisa jadi masuk jurang, ya yang sudah menjadi korbannya adalah
satu cup POP Mie tersungkur masuk jurang, karena salah satu anggota kita ada
yang nggak kuat menahan beban.
Medan yang licin, berbukit, hujan
dan gelap membuat gue hampir menyerah, karena emang gue sungguh nggak kuat,
dada gue terasa sesak banget, nafas gue terengah-engah, yang keluar dari mulut
gue adalah ucapan, Oh My God, wait, Allahu Akbar, Subhanallah, campuran dua
bahasa alay, membuat seorang teman yang
bernama Desi merasa terganggu.
“aduh va lu tuh berisik banget
ya, bikin gue tambah capek tahu nggak”,
gerutunya sambil cepet-cepet berlalu meninggalkan gue berusaha mencapai barisan
paling depan.
Setelah berjuang selama 1 setengah
jam, akhirnya sampai Juga di rumahnya Kang Arji, semuanya langsung tumbang di
bale depan. Oh my God sangat capek banget... rasanya kaki tuh seperti akar
pohon yang diperas dan di lilit-lilit. Orang
baduy luar memang tidak mengenal listrik untuk keperluan sehari-hari mereka,
tetapi mereka sudah mengenal HP untuk alat komunikasi, dan disana kita tidak perlu
khawatir kelaparan nggak bisa makan indomie atau makanan yg biasa kita
konsumsi, ternyata disana sudah ada warung yang menjual kebutuhan pokok
sehari-hari. Yang gue bingung mereka charge dimana tuh HP, apa iya mereka sudah
punya power bank yang lebih canggih.
Keesokan harinya perjalanan kita lanjut ke baduy dalam namanya CIBEO, perjalanan menempuh waktu 3 jam, berangkat jam 9 pagi, sampai sana jam 12. Melewati bukit dan 3 kali jembatan sungai, duh perjalanan ke baduy rasanya membuat gue mabok, capek bangettttt, nggak kuat gue. Apalagi ada sebuah tanjakan cinta dan turunan asmara dengan kemiringan hampir 70 derajat. Uh rasanya gue da nyerah, nggak sanggup. Tapi ditengah gue kelelahan, ketika sampai di atas bukit, wah itu sumpah keren banget bisa melihat pemandangan dengan luar biasa hijaunya.
Dengan kesusahpayahan tak
berkesudahan akhirnya sampai juga kita
di CIBEO, terliihat lumbung padi
berjajar, tak jauh dari lumbung
padi, terlihat lah sebuah perkampungan Baduy Dalam, dengan gaya arsitektur
rumah yang tidak terlalu berbeda dengan Baduy luar, tetapi ada detail kecil
yang masih membedakan kedua suku ini, yaitu dalam pengait atau topangan kayu baduy dalam tidak menggunakan paku, masih
sangat terlihat mereka masih menggunakan ikat sabuk dari pohon aren, bale-bale
rumahnya pun tidak sekuat dan serapih Baduy luar, gelas minumnya terbuat dari
potongan bambu, begitu pun dengan perlatan memasak mereka masih menggunakan
masih mengggunakan bambu dan batok kelapa.
Ketika sampai di rumahnya kang
Karma, kami tidak melihat kaum perempuan entah istri atau anak, karena istri
dan anaknya sedang ada di ladang, jarak dari rumah ke ladang itu memakan waktu
setengah hari, jadi lebih baik mereka menginap di ladang ketimbang harus bolak
balik ke kampung, (mmmh seandainya di sana ada flying fox rasanya enak banget,
di jamin bakalan cepet sampai ) kayaknya suatu ide yg bagus tuh ada flying fox
di sana, tidak merusak alam dan bebas
polusi.
Di sini gue menemukan hal tak
terduga, betapa arus modernisasi telah masuk kedalam sendi kehidupan masyarakat
Baduy, bagi yang pertama kali ke Baduy, hal ini membuat gue masih tak percaya. Ketika
memasuki baduy dalam berharap bisa menemukan makanan atau minuman lokal khas
sana yang bisa kita cicipi. Ternyata oh ternyata, si akang akangnya minum sari
Kacang Hijau, sementara gue dan rombongan Cuma bisa minum air putih. Berharap
disana gue akan disuguhkan Nira atau
gula aren, karena disana memang banyak pohon Aren. Begitu gue masuk ke rumahnya
kang Karma, Oh My God, lu tahu gue disuguhkan apa, whatttt, Yakult,
sodara-sodara, (tepok jidat gue), masih ada lagi yg bikin kita semua terengah, kita disana
ngerujak mangga, ada garem dan cabe, si
Kang Karma nya bilang, kalo kepedesan nih ada gula, sembari mengeluarkan gula
di dalam kaleng, whattttt gula yang dkeluarkan adalah GULAKU, oh man, gila ya
gue berharap yg dikeluarin adalah gula aren.
Di Baduy dalam tidak usah khawatir
takut kelaparan karena mereka sudah
menjual makanan ala supermarket : ada pop mie, beng-beng, chiki sampe minuman ringan. Juru kuncinya orang baduy
mengerti bahasa Inggris dan tidak asing dengan lingkungan Jakarta, bahkan dia
pernah ke mall Kelapa gading. Menjelang pulang kita pamitan ya, dengan bahasa
Sunda Ala kadarnya terjadi percakapan yang sangat lucu.
(kita) : Nuhun ya Kang, terima
kasih atas jamuannya,
Kang karma ; (dengan mukanya yang
sangat lucu itu ) “ oh iya, sama-sama ya Thank
You”
Kita
: “wah kang Karma, Bahasa Inggrisnya jago banget,”. dengan wajah setengah tak percaya
Kang Karma: ‘ ya litle litle i can’
Gue : sontak langsung diem dan
geleng-geleng kepala.
Dengan
sisa candaan yang masih ada, gue masih setengah tak percaya dan sontak menjadi
bahan obrolan kita di dalam perjalanan. Seorang juru kunci alias Humas dari
suku Baduy sudah sangat pasih berbahasa Inggris, WOW, betapa cepatnya jaman
menggerus sendi kehidupan masyarakat Baduy. walaupun bentuknya adalah pemenuhan
kebutuhan dasar berupa panganan dan kebutuhan primer lainnya, tetapi ini
menjadi sebuah titik awal untuk menggeser kebutuhan yang lainnya yang mulai
akan di gantikan. Yang dikhawatrikan adalah ketika masyarakat Baduy hanya
memiliki sebuah simbol, ketika nilai dari kearifan lokalnya akan tergerus
dimakan globalisasi dengan pintu modernisasi.
Ya itulah
yang terjadi dibanyak suku di Indonesia, dimana kearifan lokalnya semakin pudar
bahkan sudah hilang, ketika arus kapitalisasi masuk, petani atau massyakat kita
tak siap menghadapi masuknya kaum kapitalis, karena tak punya skill industri
atau kemampuan edukasi yang baik, mereka hanya menjadi buruh pabrik atau bagian terendah dari struktur kaum kapitalis.
Ketika nilai sudah semakin tergeser, yang tersisa hanyalah sebuah
simbol-simbolnya saja. Karena pemahamnnya hanya sebatas simbol, terkadang ini
dimanfaatkan oleh kaum kapitalis untuk menjadikannya produk yang bisa di jual,
ntah berupa merchandise atau yg lain.
Di baduy
dalam gue membeli beberapa produk buatan tangan mereka, gelang tas dan kain
tenun, sengaja banget ya gue beli gelang, ya secara gitu gue pengkoleksi
gelang-gelang unik,, tassnya juga lucu dari serat kayu damar. Yang paling gue
suka dari semua itu adalah kain tenunnya, unik banget coraknya.....
In the
end, perjalanan kali ini sangat
menyenangkan, jika ada kesempatan umur dan rezeki, keinginan untuk melanjutkan
trip berikutnya ketempat yang seru akan kita lakukan.
Setiap
tempat menyimpan keunikan cerita dan nilai, sangat bersyukur betapa beragamnya
kekayaan Indonesia.......berharap bisa keliling Indonesia,,,,,, amin.
Komentar
Tapi ada sesuatu yang membuat suku baduy masih bisa bertahan dalam perkembangan zaman, budaya mereka yang mandiri, ramah dan saling menghormati, mereka tak mudah mengikuti peradaban asing, tak mudah meninggalkan nilai-nilai luhur yang telah diajarkan oleh nenek moyang mereka, membuat suku baduy salah satu suku yang unik sekaligus menarik untuk dipelajari.
Kapan2 saya jg ingin belajar tentang caranya hidup sederhana dan menemukan kedamaian yang sebenarnya.
proud to baduy ethnic