KETIKA SEMANGAT PEDAGOGIK MEMUDAR
KETIKA SEMANGAT GURU MULAI
MEMUDAR
Gue yakin ketika masih menjadi
mahasiswa keguruan, sang kepala sekolah memiliki jiwa idealisme dan semangat
yang membumbung tinggi untuk membaktikan diri mengajar.
Apa sih bedanya sekolah SD
reguler yang dapet BOS dan sekolah yang SSN. Di negara ini banyak hal yang dipenuhi
dengan dilema dan membuat kita menyerah terhadap kondisi masyarakat.
Ketika gue datang berkunjung ke
sekolah SD negeri tipe komplek, awalnya sih ingin sosialisasi kita punya rumah
belajar. Kita di sambut dengan tim guru Sd tersebut, Ibu guru menyambut baik
kedatangan kami, walaubagaimanapun
kepala suku harus tahu keberadaan tamu yang berkunjung kesekolahnya.
Berkenalanlah gue dengan sang
kepala sekolah, sebut saja namanya pak B, beliau menayakan apa tujuan kita dan
apa keperluannya. Gue ingin menjelaskan dari A-Z tentang kegiatan kita. Kayaknya gue Cuma
dikasih waktu Cuma 5 menit, itu pun gue rasa kurang bangetttt, karena ada banyak
hal yang ingin gue sampaikan. Nampaknya kepala sekolah menanggapi program kita dengan perasaan galau dan pesimis.
Galau bukan karena masalah
priibadinya, tetapi dia curhat tentang zona nyamannya dia memimpin sekolah yang
tunggal, sehingga sekolahnya maju. Dan sekarang dia merasa galau karena
ditempatkan disekolah reguler yang fassilitassnya amat sangat terbatas,
keuangannya juga terbatas, mentalitas anak-anaknya juga rendah, dukungan
orangtua yang minim. Kegalauannya dia ditumpahkan kepada kita, ya udah kita
pasang kuping dan nunggingin senyum yang lebar. Sampe sampe kita nggak dikassih
space untuk menyela atau membeerikan
pendapat. Cuma ya bete juga gitu. Tapi ya kita berpikir positif aja, bahwa si
bapak sedang mentransfer ilmunya yang sudah belasan taun memimpin SD.
Endingnya sih Cuma bilang si
bapak Cuma bilang “oh ya udah nanti saya sampaikan kepada anak didik saya. “
kayaknya sih ada sekitar 45 menit kita ngedengerin curhatannya si bapak.
Di tengah perjalanan pulang, gue
mencoba berpikir, mestinya si Bapak kepala sekolah bangga mendapatkan tantangan
dengen penempatannya di sekolah reguler yang kebanyakan anaknya dari orang tua
yang menengah bawah dan minimnya fasilitas. Bukankah itu sebuah tantangan untuk
menjawab dan keluar dari keterbatasan, berjuang sampai titik darah penghabisan.
Memang berat Pak, pekerjaan yang
sifatnya menjadi pelayanan masyarakat. Bahkan kata Tan Malaka bilang apabila
kita ingin memerdekakan suatu bangsa, kita harus siap kehilangan kemerdekaan
akan diri sendiri. Karena tenaga dan semangat yang kita miliki tercurah untuk
kepentingan masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang beraneka ragam
karakter, watak dan kepentingannya.
Gue berharap sang bapak tidak
kehilangan apa yang dimiliki guru sesungguhnya yaitu jiwa pedagogiknya. Kita mesti
bangga, ibarat bengkel mobil, kerusakan menjadikan kita bekerja memperbaiki
kerusakan. Keluar dari bengkel menjadi kembali sediakala, bahkan menjadi
lebih maksimum performa tuh mobil. Dengan input yang alakadarnya, mestinya kita
bangga jika outputnya menjadi baikkadarnya, bukan output yang spektakuler atau
setinggi langit jadi dokter.
Komentar